di Bawah Kubah Langit

Di suatu malam yang senyap. Ketika bulatnya wajah Sang Dewi digerogoti kegelapan malam. Dan Leo yang garang hampir tenggelam. Buramnya wajah malam kini tak ubahnya diriku. Melewati detik demi detik dengan penyesalan. Aku tertegun sambil memegang selembar kertas ulangan. Penuh coretan, keraguan, dan tentunya kebodohan. Di sudut kanan atas terpampang jelas huruf E. Artinya susulan menungguku esok hari. Ditambah lagi sudah dua bulan Ghea menghilang entah ke mana. Mungkin dia sibuk dengan buku-buku berbahasa Perancis yang harus diterjemahkan.

Jantung terus berdetak keras. Seperti narapidana yang menunggu hakim membacakan vonis dan memukul palu sidang. Dag dig dug, dag dig dug,… soal-soal ulangan susulan benar-benar membuatku mengerutkan kening. Aku mencoba bermain mata dengan Aurel. “Firman, kerjakan sendiri soalnya!!”, bentak Pak Jony. Maklumlah beliau merupakan salah satu dosen senior. Wajar kalau terlihat sedikit streng and the killer. Sepertinya aku harus bersiap menerima kemungkinan terburuk, DO. Dua semester terakhir IP-ku selalu jongkok. Non est ad astra mollis e terries vi (tidak ada jalan yang mudah dari bumi ke bintang-bintang). Inilah kehidupan mahasiswa yang jauh dari keluarga. Berkutat dengan asrama, kampus, dan langit itu makanan sehari-hari. Terkadang rindu membayangi. Apalagi wajah Ghea. Seakan terus menempel di pelupuk mata.
“Aku melihat senyummu di Gemini. Je le vois dans votre bébé d’étollets (aku melihatnya di bintangmu, sayang)”, ucapku pada penghuni langit.
Kuputuskan untuk pulang kampung ke Tulungangung. Gojes…gojes…keretaku meninggalkan Paris van Java. Jarum jam terasa melambat, pepohonan melambikan dahannya dan ber-sayoonara padaku. Kuingat satu malam di bulan Februari saat itu kami memandang Pleiades dari bukit belakang rumahku.
Di dekat rumah Ghea aku turun dari delman. Hitung-hitung olahraga. Toh rumahku tidak jauh dari sini. Samar-samar kulihat Ghea berbincang-bincang dengan seorang pemuda. Tentu bukan adiknya. Setahuku ia anak tunggal. Ingin kuhampiri tapi raut wajah mereka begitu tegang. Ku urungkan niat. Sebelum meninggalkan rumahnya aku sempat mendengar pembicaraan mereka.
“Ghea, ku mohon terimalah tunanganku”
“Maaf, Mas tapi…”
“Tapi apa lagi ? Apa Firman yang menjadi alasanmu ? Dia itu sudah tinggal di kota. Mana sempat memikirkanmu lagi.”
“Baiklah…”
Seperti petir di siang bolong. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Ghea yang selama ini kupuja-puja tega mengkhinatiku. Tadi kegundahanku sedikit terbasuh saat memandang wajahnya. Kini tikaman belati serasa merobek hati. Benarkah itu Ghea yang ku kenal ? Ghea yang lugu. Ghea yang pemalu. Ghea yang selalu ada di sudut hatiku.
Melangkahkan kaki menuju rumah. Terus berjalan meski diiringi kekalutan. Hancur hati ini. Sekarang Ghea bagai momok yang menakutkan bagiku. Momok yang siap mencabut belati yang ia tancapkan di jantungku.
“Fir, datang kapan ? Kenapa tidak memberi kabar dahulu bukankah Hilman bisa menjemputmu di stasiun ?”, sapa Bapak saat aku datang.
“Baru tadi pagi, Pak.”, jawabku sambil mencium tangannya.
“Ya, sudah kamu istirahat dulu! Pasti kamu capek.”, suruh Bapak.
“Bapak mengerti sekali apa yang kurasakan, walautidak sepenuhnya. Beliau bisa membaca jalan pikiranku dari wajahku yang kusut dan lecek. Kayak baju belum dicuci. Di rumah ini aku semakin membisu. Sering terdiam dan bertopang dagu. Dan keluargaku tambah bingung dengan kelakuanku.
“Mas Fir, ada pa, sih, kok dari kemarin diam saja ? Kalau ada masalah certa saja mungkin adik bisa bantu.”, Hilman berbicara padaku.
“Tidak usah.”, jawabku singkat lalu meninggalkannya.
Pikiranku semakin tidak karuan. Mungkin aku sudah agak miring. Sepertinya aku butuh tempat yang tenang. Jauh dari keluarga. Jauh dari kebisingan dunia. Dan sudah pasti jauh dari Ghea.
Menjelang subuh buru-buru aku meninggalkan rumah. Membawa baju secukupnya dan uang seperlunya. Tak lupa kutinggalkan dua amplop yang berisi surat terakhirku.
Pagi-pagi buta keluarga kelabakan mencariku. Mereka tak menemukan apa-apa, kecuali surat yang kutinggalkan.
Spontan keluarga semakin kebingungan. Cepat-cepat Hilamn ke rumah Ghea. Dan Bapak langsung berangkat ke Bandung.
Sampai di rumah Ghea. Hilman langsung menyerahkan sepucuk surat untuk Ghea. Dengan rasa penasaran ia membuka lalu membaca suratku.
Liebe Ghea,
Mungkin ini adalah surat yang ke sekian kali kau baca. Mendengar namamu aku s’lalu teringat kenangan-kenangan manis saat kita bersama. Apalagi kenangan di bulan Juni. Saat itu, kita memandang indahnya salib selatan di depan mata. Dan kau mengatakan bahwa selama apapun aku pergi kau siap menunggu. Sampai kutulis surat ini kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga.

Witing treno jalaran soko kulino. Cinta memang datang saat kita sering berjumpa. Memudar dan menghilang saat jarak memisahkan kita. Mungkin Pegasus di langit telah merelakan sayapnya untukmu. Sayap yang kau gunakan untuk menutupi kedustaanmu. Kau berlindung di baliknya seolah tidak terjadi apa-apa.
Ghea, akhirnya aku tahu apa yang membuat kau seolah menghilang. Memang serasa menusuk saat aku tahu kau telah bertunangan dengan orang lain. Apa boleh buat. Semua sudah terjadi. Terima kasih atas semua kenangan di bawah kubah langit malam. Baik hari ini atau esok aku akan tetap menunggu Orion terbit bersama wajahmu yang memerah. Lalu aku akan mengembara bersama Betelgeuse, Rigel, dan Mintaka. Berkelana membelah angkasa sampai akhir masa.
Gute Fahrt und viel spaβ.
Firman
Isak tangis Ghea tak terbendung lagi. Kini hujan berteduh di bawah alis matanya. Dan senjapun berlabuh di sudut matanya. Seketika Ghea berlari menuju pematang sawah dekat Bengawan Solo.
“FIRMAN, JE SUIS DÉSOLẺ, JE T’AIME!!!”
Ghea lepas kontrol. Desiran angin telah menampar wajahnya. Melemparkan tubuhnya menyusur derasnya arus Bengawan Solo. Terbawa jauh dan semakin jauh. Berujung di muara keabadian. Dan di sana ia bersimpuh menunggu Firman.
Sementara itu, aku terus berjalan tanpa tujuan. Ke mana angin berhembus ke sana aku berjalan. Luntang-lantung ke sana-sini. Ah, aku mau beristirahat apalagi malam semakin pekat. Terpikir olehku untuk pergi ke rumah Ronald. Bukankah ia tinggal di dekat sini. Kalau tidak salah di jalan Flamboyan dekat pom bensin. Itu pom bensinnya. Baiklah akan kutanya dimana jalan Flamboyan.
“Pak, jalan Flamboyan di mana, ya ?”, tanyaku pada seorang petugas pom bensin. Terlihat ia sedang melayani mobil yang sejak tadi kehausan. Belum sempat ia menjawab, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Kring…kring…kring…suaranya memang terkesan zadul (zaman dulu). Dan hal itupun terjadi. Duuuuuaaaar. Ledakan hebat terjadi. Izroil pun menjemputku. Menuju ke keabadian. Sagitarius hanya tertegun sambit memegang panahnya. Vega membisu melihatku. Langit terasa muram, meski di sana berhias bintang. Tetap Sang Dewi bercadar menutupi kesedihannya.

*Didedikasikan untuk Yolanda Ghea (SMA Fons Vitae) yang telah mengilhami lahirnya cerpen ini

1 komentar:

Endingnya gantung gitu.... Q kira baklan lebih panjang lagi ceritanya

 

Post a Comment

Get Free Shots from Snap.com
Photobucket

Followers

About Me

My photo
feel the head shoot, rasakan sensasi yang berbeda dalam blogku karena setiap pemikiran, perasaan, dan kenginan akan aku tuangkan dalam bentuk karya seni yang mudah dirasakan oleh setiap orang.